Futur, Lemah iman, dan Obatnya

1. FUTUR

* Secara bahasa:

* Berhenti setelah berkesinambungan atau diam setelah bergerak

* Malas, menunda-nunda, memperlambat aktivitas setelah bersemangat.

* Secara istilah :

suatu penyakit mental yang menimpa sebagian aktivis dakwah, minimal berupa kemalasan, sikap menunda-nunda, dan mempelambat suatu urusan.

Faktor-Faktor Penyebab Tumbuhnya Futur

* Sikap berlebihan dlm memahami dan menerapkan ajaran agama

* Berlebihan dalam mengkonsumsi hal-hal yang mudah

* Menjauhi hidup berjamaah dan lebih suka mengisolir diri

* Lalai mengingat kematian dan keh. Akhirat

* Lalai dalam memperhatikan aktivitas harian

* Memakan sesuatu yang haram atau subhat

* Membatasi aktivitas keagamaan pada satu aspek saja

* Melalaikan sunnatulah thdp alam & kehidupan

* Lalai dalam memenuhi hak-hak jasmani

* Tidak siap menghadapi trubulasi dakwah

* Berteman dengan orang yang lemah kemauan dan cita-cita

* Tidak mempunyai plaining dalam beraktivitas

* Tenggelam dalam kemaksiyatan (remehkan dosa-dosa kecil)

TERAPI :

* Menjauhi kemaksiatan, kejahatan, baik yg besar atau yang kecil

* Menjaga aktivitas amal harian

* Memperhatikan waktu-waktu yang afdhol dan berusaha mengisinya dengan ketaatan

* Menjauhi sikap berlebihan dalam agama

* Menggabungkan diri dalam jamaah dan tidak mengisolir diri dalam segala kondisi

* Mencermati sunnatullah terhadap manusia dan alam

* Memperhatikan trubulasi dakwah sejak awal beraktivitas

* Menggunakan manhaj dlm aktivitas dakwah

* Berteman dengan shalihin dan mujahid

* Memenuhi hak-hak jasmani

* Menghibur diri dengan hal-hal yang mubah

* Selau mengkaji siroh Nabi, sejarah Islam dan biografi ulama yang salaf

* Mengingat kematian dan peristiwa sesudahnya

* Mengingat kenikmatan surga dan siksa neraka

* Menghadiri Majelis Ilmu

* Mengambil ajaran Islam sesungguhnya

* Senantiasa melakukan muhasabah dan intropeksi diri.

2. ISRAF

* Bahasa :

* Menginfakkan sesuatu di luar jalan ketaatan.

* Menghambur-hamburkan sesuatu atau tindakan melampaui batas.

* Istilah (Etimologi) :

Melampui batas kewajaran dalam hal makan, minum, berpakaian, rumah tinggal dan hal lain yang menjadi tuntutan nafsu manusia.

FAKTOR PENYEBAB ISRAF :

* Lingkungan keluarga

* Mendapatkan kelapangan setelah kesempitan

* Berteman dengan orang-orang yang berbuat Israf

* Melalaikan bekal dakwah

* Istri dan anak ( QS At Tahrim 66 : 6 )

* Melalaikan tabiat dunia ( QS Ali Imran : 140 )

* Meremehkan gejolak nafsu ( QS Asy syam : 9 -10 , QS Al Ankabut:69 )

* Melalaikan kedahsyatan hari kiamat

* Tidak memahami kehidupan manusia dan kaum muslimin (QS Al Kahfi : 6 , QS Al Fathir : 8 )

* Melalaikan dampak negatif israf.

DAMPAK NEGATIF ISRAF :

* Badan terserang penyakit

* Hatinya mengeras

* Lamban dalam berfikir

* Membangkitkan faktor pendorong kejahatan

* Tidak siap menghadapi ujian dan penderitaan

* Hilangnya rasa solidaritas terhadap orang lain

* Menghadapi pertanyaan Alloh Ta’ala di akhirat

* Terjebak dalam bisnis haram

* Bersaudara dengan syaitan

* Tidak dicintai Alloh ‘Azza wa Jalla

TERAPI :

* Memikirkan akibat dari Israf

* Mengontrol hawa nafsu

* Senantiasa mengkaji sunnah dan siroh

* Senantiasa mengkaji sejarah hidup para salafus sholeh

* Menjauhi interaksi dengan orang-orang yang hidupnya berlebihan.

* Memperhatikan pembinaan kepribadian anak dan istri

* Memahami realitakehidupan manusia dan muslimin

* Selalu mengingat kematian dan kejadian sesudahnya

* Menyadari karakter jalan dakwah yang penuh tantangan

Di Larang Mengikuti Perayaan Natal Bagi Orang Muslim

Kadang pada suatu instansi atau perusahaan kita di haruskan ikut/mengikuti perayaan natal. Dengan alasan pekerjaan, demi relasi bisnis ataupun alasan lainnya. Bagaimana hal ini bisa terjadi, Akankah kita mengikuti ibadahnya kaum kafir padahal kita dalam ber-tasyabuh dengannya saja sudah dilarang. Karena mengikuti ibadah mereka sudah termasuk kedalam hal merusak aqidah dan menyekutukan Allah swt,;

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia Telah berbuat dosa yang besar. (An-nisa ; 48)

Hari-hari besar (perayaan-perayaan) walau sebagian besar termasuk dalam perkara ibadah, tetapi kadang-kadang ada beberapa bagian yang termasuk adatistiadat. Kecuali yang dikhususkan dalam syari’at dengan dalil-dalil yang banyak, dan mengingat pentingnya, maka dikhususkan pelarangannya dengan alasan ada unsur tasyabbuh di dalamnya. Rasululloh telah memberikan pengganti bagi kita kaum muslimin yaitu Khusus bagi kaum muslimin, bahwa dalam satu tahun hanya ada dua hari raya saja, iedil fitri dan idiel adha.

Pemahaman terhadap materi-materi kekafiran, kemunafikan, dan kefasikan dibangun diatas pemahaman terhadap materi iman. Sebab materi-materi tersebut merupakan pembatal-pembatal keimanan dari berbagai sisi. Adapun kekafiran dan nifaq al-I’tiqadi (kemunafikan akidah) merupakan pembatal pokok keimanan. Sedangkan kefasikan dan nifaq al-amal (kemunafikan amal) membatalkan keimanan yang wajib1

kaum muslimin sekarang ini telah mengikuti jejak langkah orang-orang kafir dalam segala jenis perkara, tidak saja mengikuti dalam satu segi dari perkara-perkara ibadah, adat-istiadat, atau yang lainnya, tetapi mengikutinya secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan, baik dalam aqidah, syari’at, akhlak, pola tingkah laku, pola berpikir, metoda pendidikan, ekonomi, maupun politik. Contoh: seperti turut memperlakukan sistem perundang-undangan buatan manusia (hukum positif) dan meninggalkan dienullah (hukum Islam). Akibatnya, kaum muslimin baik secara berkelompok maupun dalam lingkup negara beserta organisasi atau negara-negara kafir, turut mendukung diberlakukannya hokum positif tersebut. Hingga, porak-porandalah kaum muslimin dan kemudian mereka menanggalkan dien Islam dalam banyak masalah.

Demikianlah dan kami memohon kepada Allah semoga kita tetap dihidupkan dalam keadaan muslim dan dimatikan-Nya dalam keislaman. Kemudian kita dikumpulkan bersama para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Semoga kita diberi petunjuk ke jalan yang lurus serta menjauhkan kita dari jalan
yang dimurkai-Nya dan dari jalan yang sesat.

1. Buku Kafir Tanpa Sadar, karya Syaikh Abdul Qodir bin Abdul Aziz

Penulis :
Eri al-bughuri
Islamic Center
solo di kegelapan malam
19 Desember 2008

Berhujjah Dengan Hadits Dhaif

Berhujjah Dengan Hadits Dla’if

Salah satu fenomena yang marak dilakukan adalah pengamalan hadits Dla’if secara serampangan tanpa pilah dan pilih terlebih dahulu, padahal implikasinya amat berbahaya sekali.

Oleh karena itu, perlu kiranya diketahui kapan berhujjah dan mengamalkan hadits Dla’if itu dibenarkan dan apa pula persyaratannya?.

Untuk itu, disini kita akan membahas sedikit tentang hukum berhujjah dengannya dan persyaratannya.

Berhujjah dengan hadits Dla’if dan mengamalkannya perlu ada perinciannya:

1. Pengamalannya di dalam masalah-masalah ‘aqidah tidak boleh secara ijma’.

2. Pengamalannya di dalam masalah-masalah hukum (al-Ahkâm) tidak diperbolehkan juga menurut mayoritas Ulama.

3. Sedangkan pengamalannya di dalam Fadlâ`il al-A’mâl (amalan-amalan yang memiliki keutamaan), Tafsir, al-Maghâziy (berita-berita seputar peperangan-peperangan)  dan Sirah, mayoritas para ulama membolehkannya dengan syarat-syarat sebagai berikut:

Hadits yang dijadikan hujjah/diamalkan tersebut tidak Dla’if (Lemah) sekali.

Permasalahan yang dibicarakan di dalam hadits yang Dla’if tersebut masih berada di dalam kawasan prinsip dasar umum. Alias bukan terpisah dan sudah menjadi cabang tersendiri.

Ketika mengamalkan hadits Dla’if tersebut, tidak meyakini kevalidannya (bahwa ia adalah hadits yang shahih) bahkan harus meyakininya sebagai sikap preventif.


Imam an-Nawawy telah menukil ijma’ para ulama mengenai hukum mengamalkan hadits Dla’if dalam masalah Fadlâ`il al-A’mâl padahal sebenarnya ada banyak ulama terkenal yang tidak sependapat dengan hal itu, diantaranya Abu Hâtim, Abu Zur’ah, Ibn al-‘Araby, asy-Syawkany dan ulama kontemporer, Syaikh al-Albany. Demikian pula pendapat yang tersirat dari ucapan Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim serta petunjuk yang didapat di dalam dua kitab Shahih; Shahîh al-Bukhary dan Shahîh Muslim.

Maka berdasarkan hal ini, hadits Dla’if tidak boleh diamalkan secara mutlak dalam bab apapun di dalam dien ini, dan ketika diucapkan/dibicarakan semata hal itu untuk sekedar pendekatan (bersifat preventif).

Ibn al-Qayyim mengisyaratkan dimungkinkannya untuk menggunakan Hadits Dla’if tersebut ketika dalam kondisi akan menguatkan dua diantara ucapan yang seimbang. Namun pendapat yang tepat adalah bahwa hadits Dla’if tidak boleh diamalkan secara mutlak selama dugaan terhadap validitasnya masih lemah dan selama ia tidak mencapai derajat Hasan Li Ghairihi (Menjadi Hasan karena ada penguat/pendukungnya dari sisi sanad dan matan yang lain).

(Disarikan dari Jawaban Syaikh DR.’Abdul Karim bin ‘Abdullah al-Khudlair [Dosen pada Fakultas Ushuluddin di Jâmi’ah al-Imam Muhammad bin Su’ûd], Majallah ‘ad-Da’wah’, Vol.1890, Tgl. 29-02-1424 H ).

CATATAN:

Ada ulama yang menambahkan satu syarat lagi, yaitu, ketika berhujjah dengan hadits Dla’if dan menyampaikannya di dalam suatu majlis, maka harus disebutkan ke-dla’if-an haditst tersebut. Wallahu a’lam.