ABDUL GAFFAR ISMAIL

ABDUL GAFFAR ISMAIL : Menempuh Jalan Uzlah

Catatan tentang Allahu yarham Abdul Gaffar Ismail ini disalin sepenuhnya, tidak diubah ejaan maupun tulisannya, dari majalah tengah bulanan Daulah Islamyah pada edisi Agustus 1957. Majalah ini dipimpin oleh KH. Isa Anshary, sedangkan tulisan tentang KH. A. Gaffar Ismail ditulis oleh Tamar Djaya, salah seorang karibnya. Redaksi majalah ini terbilang tokoh-tokoh terkemuka Muslim Indonesia. A. Hassan masuk dalam jajaran redaktur, begitu juga nama-nama lain seperti Moenawar Chalil, Rusjad Nurdin, Gaffar Ismail sendiri dan juga Rahmah el Yunusiyah.

Berikut salinannya:

Siapa yang tak mengenal A. Gaffar Ismail dalam perdjuangan Is lam? Salah seorang tokoh politik dalam barisan kita yang telah berdjuang sedjak puluhan tahun lampau, tidak pernah berhenti dari tugasnya memimpin ummat. Setelah seperempat abad ia berdjuang dimedan politik, achirnja karena merasa ketjewa dengan djalannja partai jang dianutnja, mengambil djalan sendiri diluar kepartaian. Sekarang Gaffar Ismail aktif memberikan kulijah agama, merupakan tjeramah-tjeramah tasauf dan kerohanian jang mendalam dibeberapa tempat penting di Indonesia, jang diikuti oleh puluhan ribu ummat Islam. Lapangan ini merupakan langan tersendiri yang ditjiptakannja, dan dengan mengambil djalan ini, ia merasa dirinja lebih berhasil membentuk djiwa ummat daripada aktif dalam partai jang dianggapnja tidak murni lagi.

Ia sekarang bertempat tinggal di Pekalongan. Setiap malam tertentu ia memberikan tjeramah agama dibeberapa tempat dikota ini, terutama di Pekadjangan jang terkenal perkembangan kaum muslimin jang thaat. Berpuluh ribu kaum muslimin menjadi pengikut kulijahnja. Makin lama, makin ramai dan makin menarik. Sekali seminggu ia ke Surabaja memberikan kulijah agama dalam bentuk jang sama, jang didukung oleh puluhan ribu kaum muslimin, terutama dari kalangan intelek Islam. Sekali seminggu pula ia pergi ke Makassar dalam bentuk jang sama, jang djuga didukung oleh puluhan ribu kaum muslimin.

Lapangan ini merupakan satu hal jang baru dalam dunia Islam di Indonesia jang belum pernah terdjadi sebelumnja. Kalaupun pernah diadakan oleh organisasi-organisasi Islam berbentuk tabligh atau lainnja, tapi belum pernah mendapat sambutan seperti adanja Gaffar Ismail ini.

Luar biasa dan sangat menarik perhatian. Kaum terpeladjar Islam yang merasa dirinja masih kurang dalam keagamaan apalagi dalam ibadat serta tuntunan rohani ke-Tuhanan, sangat gembira dengan langkah jang diambil Gaffar Ismail ini. Mereka berdujun-duj,un mendatangi tjeramah2 agama jang diadakan’Gaffar.

Pada waktu jang achir2 ini, nama Gaffar Ismail terutama di Djawa Tengah, Djawa Timur dan Sulawesi sangat populer, mendjadi buah bibir orang ramai.

Saja rasa buat ketiga daerah itu sekarang, nama Gaffar Ismail terletak dibaris depan sekali diantara sekian banjak nama pemimpin dan ulama jang dipudja mereka.

Mengapa demikian? Memang harusnja demikian. Karena Gaffar Ismail adalah seorang pemimpin jang tahu benar djiwa masjarakat. Sedjak dahulu adalah seorang orator (ahli pidato) jang mahir dan bidjak. Terlalu pandai menjusun kata2 jang indah dan menarik. Disamping itu, ia adalah seorang ulama jang mendalam, ahli pengetahuan Islam dan diwaktu jang achir2 ini lebih mengutamakan soal-soal tasawuf dan kerohanian. Dia juga seorang pedjuang jang ulet jang tidak pernah melupakan arti “djihad” dalam djiwanja.

berikan kulijah agama dalam bentuk jang sama, jang didukung oleh puluhan ribu kaum muslimin, terutama dari kalangan intelek Islam. Sekali seminggu pula ia pergi ke Makassar dalam bentuk jang sama, jang djuga didukung oleh puluhan ribu kaum muslimin.

Lapangan ini merupakan satu hal jang baru dalam dunia Islam di Indonesia jang belum pernah terdjadi sebelumnja. Kalaupun pernah diadakan oleh organisasi-organisasi Islam berbentuk tabligh atau lainnja, tapi belum pernah mendapat sambutan seperti adanja Gaffar Ismail ini.

Luar biasa dan sangat menarik perhatian. Kaum terpeladjar Islam yang merasa dirinja masih kurang dalam keagamaan apalagi dalam ibadat serta tuntunan rohani ke-Tuhanan, sangat gembira dengan langkah jang diambil Gaffar Ismail ini. Mereka berdujun-duj,un mendatangi tjeramah2 agama jang diadakan’Gaffar.

Pada waktu jang achir2 ini, nama Gaffar Ismail terutama di Djawa Tengah, Djawa Timur dan Sulawesi sangat populer, mendjadi buah bibir orang ramai.

Saja rasa buat ketiga daerah itu sekarang, nama Gaffar Ismail terletak dibaris depan sekali diantara sekian banjak nama pemimpin dan ulama jang dipudja mereka.

Mengapa demikian? Memang harusnja demikian. Karena Gaffar Ismail adalah seorang pemimpin jang tahu benar djiwa masjarakat. Sedjak dahulu adalah seorang orator (ahli pidato) jang mahir dan bidjak. Terlalu pandai menjusun kata2 jang indah dan menarik. Disamping itu, ia adalah seorang ulama jang mendalam, ahli pengetahuan Islam dan diwaktu jang achir2 ini lebih mengutamakan soal-soal tasawuf dan kerohanian. Dia juga seorang pedjuang jang ulet jang tidak pernah melupakan arti “djihad” dalam djiwanja.

Karena itu, djika ia mengambil djalan bertjeramah dimuka pengikutnja, tidaklah mengherankan kalao semua orang terpesona dan tertekun mendengarkan uraian2nja. Seperti dikatakan diatas, kaum inteleklah jang paling banjak mendjadi pengikutnja sekarang ini, jaitu orang2 jang berilmu dan tjerdas berfikir. Orang2 inilah mendjadi ‘kadernja jang sedang dibentuknja dengan giat. Dan insja Allah usahanja ini berhasil memuaskan sekali.

Riwajatnja:
Saja dapat mentjeritakan sedikit riwajat hidupnja dalam pergerakan politik sedjak dahulu sampai sekarang. Dizaman pendjadjahan sebelum proklamasi, orang mengenal PERMI sebagai salah satu partai politik Islam jang radikal jang terpusat di Minangkabau. Empat partai politik jang dianggap berbahaja oleh pemerintah kolonial Belanda ialah dua dari partai Islam, dan dua dari partai Nasional. Jaitu PSII dan PERMI, Partindo dan PNI.

Pemimpin2 keempat partai politik ini kemudian dibuang. Jaitu Sukarno dari Partindo ke Endeh, Hatta dkk dari PNI ke Digul, H. Djalaluddin Thaib dkk ke Digul dari Permi, dan Sabilal Rasjad dkk dari PSII ke Digul djuga. PERMI jang begitu besar pengaruhnja terutama di Sumatera, adalah buah tjip-taan sdr. Gaffar Ismail bersama Ali Imran Djamil almarhum Jaitu buah dari rnuktamar Sumatera Thawalib tahun 1930 jang mendjelma mendjadi partai PERMI. Disamping tokoh2 PERMI jang lain, A, Gaffar Ismail termasuk tokoh utama dalam Permi. Ketjakapannja terutama ialah mendjadi propagandis partai. Keliantjahan dan ketjakapan berpidato adalah mendjadi miliknja jang asasi. Waktu itu dalam berpidato, ia sedjadjar dengan Muchtar Luthfi. Berapi-api dan menjala-njala.

Kemudian, ia dikirim ke Djawa mendjadi propagandis PERMI, dan disini ia mendjalankan pengaruhnja jang besar, sehingga namanja dalam waktu jang singkat mendjadi populer sekali.

Seketika partai2 politik tersebut tidak mendapat djalan lagi berhiibung adanja -Vergader verbod dari pemerintah kolonial, Gaffar tampil dalam partai baru jang didirikan oleh Dr. Sukiman Partai Islam Indonesia. la ikut mendjadi salah seorang tokoh penting dalam partai ini.

Kemudjan setelah proklamasi, Gaffar ikut dalam Masjumi di Djokja Dalam babak pertama, nama Gaffar tetap menduduki tempat penting dalam partai ini. Memang buat dia sebagai seorang pergerakan dan pedjuang Islam, dirinja sendiri tidaklah begitu dipentingkannja. la hidup selalu sederhana dan memadakan apa jang ada. la tidak ingin mewah, bahkan seolah-olah lebih suka hidup menderita, menurut jang ditjontohkan Nabi dalam perdjuangan fi Sabilillah ini.

Ia mengabdi partai setjara bersungguh2. Ketjakapannja berpidato sangat besar gunanja bagi suatu partai jang menghendaki pembangunan massa. Berdjuang baginja-bukanlah barang sambilan. Itu, saja ketahui benar selama kita bergaul rapat semendjak Permi 1930 dahulu dan sampai waktu jang achir didalam Masjumi.

Tapi dengan adil, saja dapat menilai Gaffar ini, bahwa dia bukanlah seorang organisator. Memimpin partai setjara administratif ia tidak bisa, dan bukanlah tempatnja djika pekerdjaan itu diberikan padanja.

Dia dapat dikemukakan mendjadi propagandas dan penggugah semangat rakjat atau pembentuk kader. Kalau ini diberikan kepadanja, insja Allah akan berhasil sebaik-baiknja.

Patah Hati
Suatu kali pada tahun 1953 kami (saja dan Gaffar) berkundjung kerumah sdr Natsir di Djalan Djawa. Sdr. Gaffar mengemukakan pendapat2nja mengenai Masjumi. Banjak kritik dilantjarkannja kepada ketua urnum Masjumi itu, berdasarkan fakta2 jang djelas. Dia melihat Masjumi “belum merupakan suatu partai perdjuangan jang radikal. Diketjamnja sdr. Natsir jg (karena telah) mentjiptakan Tafsir Asas Masjumi, dimana didalamnja sepatahpun tidak disebut2 kata2 Djihad.

Ia ingin Masjumi itu betu!2 partai Islam jg. kuat dan radikal menentang ideologie jg. hendak menghantjurkan Islam. Ia ingin Masjumi mendjadi pelopor “Negara Islam” di Indonesia. la mengemukakan konsepsinja didalam rangka memperhebat tekad perdjuangan. Apabila Masjumi diteruskan dalam tradisinja jang sudah2, dia pertjaja Masjumi akan mengalami kekalahan dan tjita2 jang dikandung tidak akan tertjapai. Berdjam-djam sdr. Gaffar mengada-kan koreksi dimuka Natsir dan saja memperhatikan kedua tokoh itu. Gaffar berkata dengan djiwa jang sebenar-benarnja penuh kelihatan. Bahkan achlr pembitjaraannja menjatakan kepada Natsir kira2 begini, “Saja bersedia untuk apapun djuga dipergunakan dalam djihad fi sabilillah ini. Tugas apapun jang diberikan kepada saja, akan saja kerdjakan.” Gaffar menjerahkan dirinja bulat2 kepada Imam Masjumi Moh. Natsir.

Natsir mendengarkan semua butir2 kata Gaffar dengan termenung. Natsir tidak memberikan djawab apa-apa. Hanja memutar2 rambutaja jang melambai dikening. Djawab tidak ada

la achirnja mengambil keputusan sendiri. Meninggalkan Bogor (tempat tinggalnja waktu itu) dan pergi ke Pekalongan. Disana, telah banjak menanti orang2 jang haus pimpinannja.

Dia mengambil djalan menjendiri (uzlah), dengan tidak melupakan kewadjiban berdjuang. Kalau dengan partai ia tidak bisa dipakai maka ia akan mempergunakan tenaga dan ketjakapannja didalam bidang perdjuangan Islam dalam tempat tertentu. Lebih baik ia menjusun suatu barisan dan membentuk kader dalam lapangan ketjil tapi dapat member hasil, daripada mentjampuri lapangan besar tapi sama sekali tidak produktif.

Setelah Pekalongan, mengikut pula Surabaja dan kemudian Makassar seperti saja katakan diatas. Gaffar merasa puas dengan basil usahanja ini, karena dengan tjara jang dilakukannja ini, ia lebih banjak mendapat hasil. Gaffar menghilang dari permukaan Masjumi, dan Masjumi sendiri seakan-akan tak hendak mau ‘tahu lagi padanja”.

Inilah akibatnja briliant jang disia-siakan. Dan dia sekarang seolah-olah atjuh tak atjuh sadja lagi dengan Masjumi. Benar usaha Gaffar ini tidak merugikan Masjumi setjara langsung, akan tetapi djika usahanja ini disalurkan didalam rangka perdjuangan Masjumi, tentulah akan lebih menguntungkan.

Salah satu tenaga kuat jang dianggap sepi. Dan bukan Gaffar sadja jang telah uzlah (menjendiri) ini, tetapi banjak tenaga2 briliant lain jang sudah mengambil sikap jang sama dengan Gaffar. Waktu almarhum H.Agus Salim hidup, saja pernah datang ke rumahnya dan menanjakan, kenapa beliau memilih djalan tidak “berpartai” diachir hidupnya, padahal beliau terkenal seorang pedjuang Islam sedjak dahulu?

Dengan Sangat terharu beliau mendjawab, “Waktu Masjumi mula2 didirikan, saja adalah Masjumi. Kemudian Masjumi petjah, dengan keluarnja PSII saja mau ditarik mendjadi PSII. Sedianja kedua partai itu, bagi saja sama sadja, sebab sama2 berdasar Islam. Akan tetapi praktik2 belakangan ini baik Masjumi maupun PSII, sama sekali tidak dapat saja ikuti lagi. Karena itu saja menjatakan diri tidak berpartai sadja. Apa boleh buat.”

Alangkah sedihnja utjapan ini. Tokoh pemimpin Islam jang utama, setjara terus terang mengatakan “ketjewa” dengan praktik2 Masjumi dan PSII. Kemudian Jihat pula sikap jang diambil oleh sdr. Wali Al Fatah, bekas Wakil Ketua Masjumi Pusat Djokja, dan bekas anggota Pimpinan Partai Masjumi 1952. Karena merasa ketjewa dengan sikap dan djalannja perdjuangan Masjumi, achirnja menjendiri dan membentuk gerakan baru sendiri jang kini terkenal dengaa nama “Hidzbullah”.

Al-Ustaz H.S.S. Djamaan Djamil, seorang ulama dan ahli flkir kita jang djuga tidak asing lagi, pun termasuk seorang jang hidup menjendiri, dengan hanja menghadapi murid2nja. Dahulu ia pernah mendjadi pemuka dari Muhammadijah, termasuk ulama jang zuhud dan intelek.

Karena praktik2 partai jang dilihatnja sekarang sudah terlalu djauh njeleweng, achirnja ia mendirikan perguruan sendiri jang, dinamainja perguruan “Da’wah Is-lamijah” di Tanah Tinggi Djakarta. Satu2nja sekojah Islam jang tetap mempertahankan sistem suraunja, dan mendapat pengaruh jang besar dikalangan ummat Islam Djakarta.

Mungkin para pemuka2 Masjumi jang sekarang menganggap kedjadian2 diatas, sama sekali tidak penting untuk diperhatikan. Pergilah mana jang akan pergi. Tapi satu hal harus kita pikirkan, bahwa djika sehari demi sehari, tokoh2 penting kita apalagi ulama2 kita jang berpengaruh pergi satu persatu, akan bagaimanakah djadinja ini nanti?

Apakah masih dapat dijakinkain sekarang partai2 Islam itu benar akan memperdjuangkan Islam, padahal ulama2 jang mengerti Islam- dikesampingkan, dan intelek jang hidjau (masih muda, red) dalam adjaran Islam diimamkan?

Dapatkah ummat Islam ber-IMAM kepada orang2 jang tak mengerti agama? Terserah kepada penganut2 partai jang sekarang.

Menurut jang wadjar, kalau hendak memperdjuangkan Islam, mestilah dipimpin oleh orang2 jang mengerti Islam, bukan sebaliknja. Tjontoh jang diperlihatkan oleh Gaffar Ismail, Wali al Fatah, H.Agus Salim dan S.S. Djamaan saja kira masih banjak lagi dan akan masih terus terdjadi djika partai kita tidak lekas-lekas menjadari kebenaran ini. Pada umumnja dimana partai Islam dipimpin oleh tenaga2 intelek kaum Ulama dikesampingkan, karena dianggap tak mengerti politik. Maka kembalitah Ulama kesuraunja menghadapi murid2nja, dan madjulah partai tanpa; pengaruh dikalangan umat jang banjak, mendjadi partai jang tidak berkaki.

Natsir dan Ketidakadilan Sejarah

(Mengenang 95 Tahun Mohammad Natsir)
Oleh : Israr

Di era reformasi, sejumlah kalangan sejarawan dan intelektual kembali mengingatkan perihal kecenderungan bangsa Indonesia yang terus memupuk dendam sejarah. Pemupukan dan pewarisan dendam sejarah itu dianggap berbahaya, karena anak bangsa atau generasi penerus tidak akan pernah dapat memetik hikmah dan kearifan dari peristiwa masa lalu untuk kegunaan masa kini dan masa depan.

Karena itu, “rekonsiliasi sejarah” mendesak untuk dilakukan oleh bangsa Indonesia. Upaya ini merujuk kepada pengertian bahwa anak bangsa mesti dapat melihat kembali sejarah bangsanya secara jernih, jujur, adil, dan objektif, sesuai dengan “standar” akademis. Usaha itu pertama-tama tentu dapat dilakukan melalui rekonstruksi sejarah yang selama ini dianggap lebih banyak menurut selera penguasa. Ikhtiar lain berupa penghargaan yang proporsional terhadap tokoh-tokoh pelaku sejarah yang telah berjasa kepada bangsa dan kemanusiaan.

Mohammad Natsir (1908-1993) adalah salah satu founding father Republik Indonesia yang hingga kini dinilai belum mendapatkan penghargaan yang layak dari bangsanya sendiri. Dalam sejarah nasional posisinya pun masih “kabur”. Keadaan itu telah berlangsung sejak era Orde Baru dan berlanjut hingga era reformasi ini.

Padahal jasa-jasa mantan Perdana Menteri RI setelah kembali ke negara kesatuan (1950-1951) itu sangat besar kepada bangsa dan negara. Pada momentum 95 tahun Mohammad Natsir sekarang ini, ada baiknya wacana kesadaran historis itu digugah kembali, agar anak-anak bangsa dapat memetik hikmah dan kearifan dari sejarah.

Berdasarkan beberapa literatur sejarah, sulit dipungkiri bahwa sosok Mohammad Natsir yang lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat, 17 Juli 1908 dan wafat di Jakarta, 16 Februari 1993 nampak ibarat sebuah prisma. Banyak segi dan banyak pula sinarnya. Dalam pelbagai bidang yang digelutinya, dia selalu tampil di garda depan. Sebagai politisi, ia pernah sampai ke puncak: ketua umum Partai Masyumi, partai politik Islam terbesar di masa lalu, dan PM RI pertama setelah kembali ke negara kesatuan (1950-1951).

Sebagai ulama, ia merintis dan memimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), sebuah lembaga dakwah terkemuka di Tanah Air. Selaku intelektual, Natsir mungkin seorang ulul-albab: tidak sekadar punya wawasan ilmu yang luas, tetapi juga menaruh keprihatinan, memikirkan, dan mencoba mencari jalan keluar bagi persoalan yang dihadapi bangsanya. Dari semua posisi historis itu, Natsir juga terkenal sebagai pemimpin yang mempraktikkan pola hidup sederhana, santun, jujur, demokratis, dan moderat sejauh moderasi itu tidak melanggar hal-hal yang dinilainya sebagai prinsip.

Namun citra positif Natsir tersebut agaknya perlu disosialisasikan lebih lanjut kepada generasi sekarang dan masa depan. Bagi mereka, seperti disinggung di muka, Natsir barangkali sudah menjadi sebuah gambaran yang kabur di masa lalu. Dalam bacaan sejarah di sekolah-sekolah, nama Natsir mungkin terletak di lembaran hitam atau paling tidak kelabu.

Natsir kira-kira diasosiasikan dengan tokoh ekstrem, fundamentalis, dan sejenisnya – seandainya itupun masuk dalam bacaan mereka. Di samping itu, Natsir juga tergambar “kritis” terhadap idiologi Pancasila, karena dalam sidang-sidang Konstituante tahun 1950-an, ia merupakan tokoh nomor satu yang memperjuangkan dasar negara Islam.

Natsir bahkan kemudian dicitrakan sebagai “pemberontak”, lantaran di akhir tahun 1950-an ia “bergabung” dengan gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Padahal PRRI sendiri tak bisa serta merta dituding sebagai makar, tanpa memahami secara baik setting sosial politik dekade 1950-an. Dalam kaitan ini, kadar keterlibatan tiap tokoh dalam PRRI itu pun sangat beragam. Natsir diketahui “bergabung” dengan PRRI lebih belakangan.

Ia semula di Jakarta, tapi karena terus mendapatkan teror dari antek-antek PKI, ia bersama beberapa tokoh Masyumi lainnya terpaksa meninggalkan Ibukota menuju Sumatera Barat, basis PRRI. Dan Natsir, seperti dituturkan Kahin dan Kahin (1997:162), sebenarnya tidak banyak ikut serta dalam proses gerakan yang berujung “perang saudara” itu. Satu hal penting lagi: Natsir menolak cara-cara konfrontasi untuk menekan Jakarta.

Mungkin perlu disadari bahwa sebagai manusia, di antara tokoh-tokoh nasional masa lalu juga memiliki “dosa-dosa politik”. Sebutlah nama Sukarno, proklamator dan Presiden RI pertama. Sukarno dianggap memiliki “dosa-dosa politik”, antara lain karena telah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 yang “melegalisasi” pembubaran Konstituante hasil Pemilu 1955, memberi ruang hidup kepada PKI, serta memaklumkan Demokrasi Terpimpin. Jenderal AH Nasution, mantan KSAD, juga dianggap punya dosa-dosa politik, karena ia dinilai telah “mendorong” dan mendukung keluarnya Dekrit Presiden 1959 itu.

Seiring perjalanan waktu, beberapa tokoh besar masa lalu kemudian menerima perlakuan tidak pantas dari rezim berkuasa. Sebagian di antara mereka telah mengalami nasib tragis sejak masa Demokrasi Terpimpin, khususnya yang “terlibat” PRRI/Permesta atau para penentang rezim otoriter itu.

Di samping Natsir, perlakuan pahit misalnya juga dialami Sutan Sjahrir, bekas PM RI pertama, Sumitro Djojohadikusumo, salah satu “arsitek” PRRI, serta beberapa tokoh Masyumi dan PSI lainnya. Pola perlakuan semacam itu terus berlanjut ke era rezim berikutnya. Bahkan di era Orde Baru, Sukarno sendiri juga mengalami perlakuan yang tragis secara personal maupun peran kesejarahannya.

Tetapi seburuk-buruk nasib Sjahrir, ia masih lebih beruntung dibandingkan Natsir. Ditahan sebagai pengkhianat negara selama tiga tahun, tetapi di hari meninggalnya tahun 1966, tokoh sosialis ini langsung dianugerahi Pahlawan Nasional.

Sedangkan Sukarno, meskipun berpuluh-puluh tahun dikebiri rezim Soeharto, nasibnya kelak masih jauh lebih beruntung ketimbang Natsir. Berbagai atribut dan penghormatan, seperti Pahlawan Nasional telah disandangkan ke pundaknya. Terakhir penghargaan nasional itu tercermin dari peringatan kolosal Satu Abad Bung Karno (2001).

Secara politis, banyak nama-nama tokoh yang sudah direhabilitasi. Tetapi Natsir, selain tidak jelas status kepahlawanannya, citranya sebagai “pemberontak” terhadap Republik tidak pernah secara resmi direhabilitasi pemerintah. Keterlibatannya dalam PRRI, antara lain bersama Sumitro, seakan-akan tetap dianggap sebagai “dosa-dosa politik” yang tak terampunkan.

Dalam konteks ini, nasib Natsir (plus Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap) lagi-lagi tidak lebih baik dibandingkan Sumitro. Buktinya, sejak era Orde Baru, citra sebagai “pemberontak” seakan-akan tidak lagi melekat pada sang “begawan ekonom” itu.

Sebetulnya upaya mendesak pemerintah merehabilitasi nama Natsir cs telah dilakukan sejak masa Orde Baru, tapi selalu gagal. Bahkan yang diterima Natsir bukannya rehabilitasi nama baik, tetapi justru pelbagai kesulitan pribadi dan kelembagaan. Soeharto memang tidak seperti Sukarno yang pernah memenjara Natsir selama tiga tahun tetapi rezim militeristik ini telah pula memperlakukan Natsir secara tidak adil.

Di antaranya pencekalan ke luar negeri. Ini kondisi yang ironis sekali. Padahal di luar negeri kredibilitasnya dihormati. Posisi Natsir sebagai salah satu pemimpin terkemuka dunia Islam cukup mengharumkan nama bangsa. Tidak hanya itu, di belakang layar, Natsir sebenarnya berjasa membantu pemerintah Orde Baru menjalin kontak dengan beberapa negara donatur, seperti Jepang dan negara-negara Timur Tengah.

Barulah setelah pemerintah Presiden Habibie (1998-1999), keluarga dan pengagum Natsir sedikit berbahagia, karena Natsir tokoh pelopor Mosi Integral yang akhirnya mengembalikan Indonesia ke bentuk negara kesatuan diberikan penghargaan Bintang Adipradana, bersama Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap.

Tetapi baru sebatas Bintang Adipradana. Usulan DDII agar ketiga tokoh Masyumi itu diangkat sebagai Pahlawan Nasional, tetap tak terwujud. Sampai pucuk kekuasaan negara beralih ke tangan Abdurrahman Wahid dan Megawati sekarang ini, usulan itu kembali tenggelam dalam hiruk-pikuk situasi politik nasional.

Pada akhirnya, berbicara sejarah semestinya juga berbicara masalah keadilan. Diakui, sebagai manusia, tokoh-tokoh besar bangsa di masa lalu tentu juga memiliki kekurangan dan kelemahan. Maka, ketika beberapa tokoh sejarah nasional yang juga pernah memiliki “dosa-dosa politik” dengan mudah direhabilitasi nama baiknya dan dianugerahi gelar pahlawan, kenapa ada tokoh yang lain diperlakukan tidak sama.

Diktum bahwa “sejarah dikuasai oleh mereka yang berkuasa”, agaknya kurang cocok dalam semangat “rekonsiliasi” yang banyak dianjurkan kalangan cendekiawan dewasa ini. Diktum itu harus ditinggalkan, agar sejarah tidak lagi mewariskan dendam, melainkan memberikan hikmah dan kearifan kepada kita bagi masa depan bangsa.

Sejarah Oleh : Redaksi 19 Jul 2003 – 1:25 pm

Peneliti sejarah dan politik CIRUS, Jakarta
Republika

KH.ISA ANSHARY

KH.ISA ANSHARI : Khutbah Perlawanan Menjelang Ajal

Ia bergelar Singa Podium. Dijuluki demikian karena kefasihan kemampuan berorasi mampu mengobarkan semangat setiap orang yang mendengarnya. Pemuda yang bertubuh pendek, gemuk dengan bahu yang agak bungkuk ini lahir di Maninjau, Sumatera Barat, 1 Juli 1916. Di usianya yang masih remaja, Isa Anshari telah terjun ke dunia politik. Di kota kelahirannya itu ia sudah menjadi kader PSII dan aktif sebagai mubaligh Muhammadiyah. Seperti halnya para pemuda lainnya, Isa Anshari merantau ke pulau Jawa dan menetap di kota Bandung. Di kota Kembang inilah ia bertemu dengan Soekarno.

Selain dikenal sebagai pemuda yang taat beragama, aktivitas politiknya makin menggebu-gebu. Di usianya yang muda, ia telah memimpin beberapa organisasi, yaitu Ketua Persatuan Muslimin Indonesia Bandung, Pemimpin Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia Bandung, Sekretaris Partai Islam Indonesia Bandung serta ikut mendirikan Muhammadiyah cabang Bandung. Dalam pergerakan itu, ia bergabung dengan kelompok pemuda yang disebut-sebut radikal, seperti M. Natsir. Aktivitasnya di Persis yang sempat dipimpinnya beberapa periode seakan-akan semakin tersemai subur. Ia juga menjadi anggota Indonesia Berparlemen, Sekretaris Umum Komite Pembela Islam dan pemimpin redaksi majalah Daulah Islamyah.

Satu hal yang mencolok dari tokoh yang pernah menjadi pembantu tetap Pelita Andalas dan Perbincangan ini adalah sikapnya yang tegas. Ia sering dinilai tidak bersikap kompromistis. Tidak mengherankan kalau Herbert Feith menyebutnya dengan figur politisi fundamentalis yang memiliki keyakinan teguh.

Oleh karena itu, pada zaman Jepang, ia telah mengomandoi gerakan Anti Fasis (Geraf), Biro Penerangan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) Priangan, memimpin Angkatan Muda Indonesia dan mengorganisasi Majelis Islam yang membentuk kader-kader Islam.

KH. Isa Anshari adalah salah satu pilar yang membangun Persis. Pada tahun 1935-1960 ia sempat menjadi ketua umumnya. Selama memimpin Persis, perannya sangat menonjol. Ia selalu memberikan arahan dan warna bagi organisasi itu. Pidatonya selalu bergelora membuat pandangan yang mendengarkan selalu tertuju kepadanya. Bukan sekali dua kali ia ditegur oleh aparat keamanan karena “garangnya” pidato yang ia sampaikan.

Dalam hal tulis menulis analisisnya cukup tajam. Di antaranya hasil karyanya adalah Bahaya Merah Indonesia (1956), Barat dan Timur (1948), Islam Menentang Komunisme (1956), Tuntunan Puasa (1940), Umat Islam Menghadapi Pemilihan Umum (1953), dan lain-lain.

Dalam kancah politik, Masyumi menjadi ladangnya. Bagi para ulama kritis , berpolitik merupakan bagian tuntutan agama. Mereka selalu meneriakkan kebenaran walaupun pahit dirasakan. Bagi mereka, berpolitik adalah alat untuk mencapai cita-cita umat Islam. Di bawah bendera Masyumi, ia semakin memperkuat posisinya sebagai politisi. Tahun 1949, ia memimpin sebuah kongres Gerakan Muslimin Indonesia.

Keterlibatan KH. Isa Anshari dalam pentas politik membuat dia harus menghadapi risiko yang tidak kecil. Ketika terjadi razia terhadap orang-orang yang diisukan ingin membunuh presiden dan wakil presiden pada bulan Agustus 1951 oleh PM Sukiman Wirdjosandjoyo, KH. Isa Anshari ditangkap. Namun beberapa saat kemudian ia dilepaskan dan dinyatakan tidak bersalah.

Sepak terjangnya di bidang politik sempat menyedot perhatian massa. Di mana ia memberikan pidato, pasti dipenuhi massa yang ingin mendengarkan suaranya. Biasanya massa yang hadir bukan hanya partisipan Masyumi, tapi juga masyarakat umum.

Pada masa Soekarno, Masyumi menjadi salah satu lawan politik pemerintah yang terus digencet. Saat tragedi Permesta meledak (1958), banyak tokoh-tokoh yang diciduk. Termasuk KH. Isa Anshariyang saat itu berada di Madiun bersama Prawotomangkusasmito, M. Roem, M. Yunan Nasution dan EZ. Muttaqien serta beberapa tokoh lainnya.

Pada masa demokrasi parlementer, muncul beberapa konflik antar kelompok. Ada yang menginginkan Indonesia berideologi sekuler-nasionalis dengan dasar negara Pancasila. Di sisi lain ada yang menginginkan terbentuknya negara Islam, atau paling tidak negara yang berideologikan hukum-hukum Islam. Di tubuh Masyumi, cita-cita untuk membangun Negara Islam sangat subur. KH. Isa Anshari tetap menjadi juru bicara yang ulet bagi Masyumi. Namun sayang, keinginan mereka untuk mewujudkan Negara Islam gagal. Ketidakberhasilan ini disebabkan beberapa hal, di antaranya munculnya polarisasi mengenai bentuk dan konsep negara Islam itu sendiri.

Ada yang berpendapat bahwa aturan dan ajaran Islam harus terwujud lebih dahulu yang nantinya dengan sendiri akan terbentuk negara Islam. KH. Isa Anshari termasuk dalam kelompok ini. Di sisi lain ada yang berpendapat bahwa negara Islam harus di bentuk dahulu, baru kemudian diberi corak dan warna Islam. Di Luar itu, muncul kelompok yang lebih keras lagi. Maka meledaklah peristiwa DII/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh serta gerakan Ibnu Hajar di Kalimantan. Gerakan-gerakan itu dapat dipadamkan oleh Soekarno.

Pada era berikutnya, KH. Isa Anshari terus berkecimpung dalam membangun umat. Di usianya yang kian lanjut, ia lebih banyak mengkader generasi muda. Ia tidak lagi menjadi pemimpin di organisasi yang membesarkannya, tapi cukup sebagai penasehat. Begitulah contoh seorang pemimpin yang mengetahui keadaannya. Kendati demikian ia tetap saja mendapat halangan. Ia sempat dijebloskan ke dalam penjara oleh Soekarno. Dari balik terali besi ia masih sempat mengirimkan tulisan-tulisan ke para sahabatnya.

KH. Isa Anshari tidak mengenal lelah. Menjelang akhir akhir hayatnya ia tetap bekerja untuk umatnya. Pada 11 Desember 1969 atau sehari setelah Hari Raya Idul Fitri 1369 H ia meninggal dunia, di RS Muhammadiyah Bandung. Sehari sebelumnya ia menyatakan bersedia memberikan khutbah Idul Fitri, namun takdir berkehendak lain. Naskah khutbah itu sempat diketiknya dua halaman, dan tak sempat terbacakan