MUHAMMADIYAH

MUHAMMADIYAH : Meretas Jalan Baru Untuk Indonesia
uhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar yang masih eksis hingga kini, didirikan oleh KH. Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 (18 November 1912) di Yogyakarta.

Secara etimologis, Muhammadiyah berasal dari kata “Muhammad” yaitu nama Rasulullah saw yang diberi ya nisbah dan ta marbutah yang berarti pengikut Nabi Muhammad saw. Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah yang baru, yang telah disesuaikan dengan UU No. 8 tahun 1985 dan hasil Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Surakarta pada tanggal 7-11 Desember 1985, Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang berakidah Islam dan bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah. Muhammadiyah menentang berbagai praktik bid’ah dan khurafat. Sifat gerakan ini non politik, tetapi tidak melarang anggota-anggotanya memasuki partai politik. Bahkan KH. Ahmad Dahlan selaku pemimpinnya juga menjadi anggota Sarekat Islam.

Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang telah mengembuskan jiwa pembaruan Islam di Indonesia dan bergerak di berbagai bidang kehidupan umat. Muhammadiyah memberikan titik tekan tersendiri bagi dunia pendidikan. Langkah yang diambil Muhammadiyah antara lain, (1) memperteguh iman, menggembirakan dan memperkuat ibadah, serta mempertinggi akhlak; (2) mempergiat dan memperdalam penyelidikan ilmu agama Islam untuk mendapatkan kemurniannya; (3) memajukan dan memperbarui pendidikan, pengajaran dan kebudayaan serta memperluas ilmu pengetahuan menurut tuntunan Islam; (4) menggiatkan dan menggembirakan dakwah Islam serta amar ma’ruf nahi munkar; (5) mendirikan, menggembirakan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf; (6) membimbing kaum wanita ke arah kesadaran beragama dan berorganisasi; (7) membimbing para pemuda agar menjadi orang Islam berarti; (8) membimbing ke arah kehidupan dan penghidupan sesuai dengan ajaran Islam; (9) menggerakkan dan menumbuhkan rasa tolong menolong dalam kebajikan takwa; (10) menanam kesadaran agar tuntunan dan peraturan Islam berlaku dalam masyarakat.

Pada tahun 1930-an, menjelang Perang Dunia II, pemimpin-pemimpin Muhammadiyah, di antaranya KH Mas Mansyur, Prof. Kahar Muzakir, dan Dr. Sukiman Wirjosandjoyo, mensponsori berdirinya Partai Islam Indonesia. KH. Mas Mansyur juga aktif di GAPI, bahkan diunggulkan sebagai ketua Majelis Rakyat Indonesia, yang merupakan badan parlemen dari kaum pergerakan nasional.

Sejak masa berdirinya, banyak kader Muhammadiyah yang ikut berjuang, misalnya di perang kemerdekaan. Sementara itu setelah Indonesia merdeka, mulai bergerak kembali ke berbagai bidang, selain juga terjun dalam perjuangan fisik. Sementara itu, pada zaman revolusi fisik dan demokrasi liberal, banyak anggota Muhammadiyah yang memasuki partai politik Masyumi. Dalam dunia politik, banyak tokoh Muhammadiyah berdiri di depan.

Persebaran Muhammadiyah dimulai sejak kelahirannya sampai saat ini. Sampai sekurang-kurangnya tahun 1917, penyebaran Muhammadiyah bisa dibilang masih sangat terbatas, yakni masih di daerah Kauman Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan sendiri selain aktif tabligh, aktif pula mengajar di sekolah Muhammadiyah, dan memberikan bimbingan kepada masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan seperti pengajaran shalat dan juga mengumpulkan dana dan pakaian untuk dibagikan kepada fakir miskin.

Dengan kesungguhan para kadernya, Muhammadiyah berkembang pesat. Pada tahun 1925 Muhammadiyah memiliki 29 cabang dengan 4.000 anggota. Sedangkan kegiatannya di bidang pendidikan meliputi 8 Hollands Indlandse School, 1 Sekolah guru di Yogyakarta, 32 sekolah dasar 5 tahun, 1 Schakelschool, 14 madrasah dengan 119 guru dan 4000 murid. Di bidang sosial, Muhammadiyah mencatat 2 klinik di Jogya dan Surabaya dengan 12.000 pasien, 1 buah rumah miskin, dan 2 rumah yatim piatu.

Selanjutnya, penyebaran Muhammadiyah semakin meluas lagi. Bidang pendidikan menjadi begitu melekat dengan aikon Muhammadiyah. Data pada tahun 1985 saja tercatat lembaga pendidikan Muhammadiyah berjumlah 12.400 lebih yang tersebar di seluruh tanah air, yang terdiri dari pendidikan umum dan pendidikan agama. Dari jumlah tersebut tercatat 15 universitas dan 23 perguruan tinggi. Sisanya adalah sekolah TK sampai tingkat SLTA (agama dan non agama). Sampai dengan tahun 1990, jumlah Perguruan Tinggi Muhammadiyah berkembang menjadi 78 buah.

Selain bidang pendidikan, Muhammadiyah juga mencurahkan perhatiannya untuk mendirikan poliklinik, rumah bersalin, rumah sakit, dan sekarang fakultas kedokteran. Kalau pada tahun 1922 baru ada 1 rumah sakit atau poliklinik, di tahun 1990 Muhammadiyah telah memiliki 215 rumah sakit, poliklinik dan rumah bersalin. Kini belum ada data pasti, tapi diyakini jumlahnya jauh lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.

Muhammadiyah yang berkembang dengan pesat, tak elak dari kesungguhan hati para pendiri dan kadernya. Menarik kita simak pesan KH. Ahmad Dahlan, “…Aku ingin berpesan pula hendaknya kamu bekerja dengan bersungguh-sungguh, bijaksana dan tetap berhati-hati, dan waspada dalam menggerakkan Muhammadiyah dan menggerakkan tenaga umat. Hal ini jangan kau kira urusan kecil. Inilah pesanku, siapa saja yang mengindahkan pesanku, tanda mereka tetap mencintai aku dan Muhammadiyah.” Selain itu beliau melanjutkan, “Adapun untuk menjaga keselamatan Muhammadiyah, maka perlulah kita berusaha dan menjalankan serta mengikuti garis khittahku; hendaklah kamu sekali-kali tidak menduakan pandangan Muhammadiyah dengan perkumpulan lain, jangan sentimen, jangan sakit hati kalau menerima celaan dan kritikan, jangan sombong, jangan berbesar hati kalau menerima pujian, jangan jubirya (ujub, kibir, riya), ikhlas dan murnikan hati kalau sedang berkorban harta benda, pikiran dan tenaga, dan harus bersungguh hati dan tetap tegak pendirianmu!” pesannya.

Yeni Rosdianti Rasio

NAHDLATUL ULAMA

NAHDLATUL ULAMA : Mengantar Kiai untuk RI-1
Nahdlatul Ulama (NU) berarti kebangkitan ulama. Dibidangi oleh tokoh-tokoh ulama seperti Hadhratus Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) dan KH. Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971). NU lahir pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya dan kini menjadi salah satu organisasi dan gerakan Islam terbesar di Indonesia.

NU lahir dari Komite Hijaz yang bertujuan mengupayakan berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Ahlu Sunnah wal Jamaah dan penganut salah satu mazhab yang empat (Hanafi, Syafi’i, Hanbali dan Maliki). Sebagian besar yang mendominasi gerakan ini adalah mazhab Syafi’i.

Berbasiskan massa pesantren di seluruh Nusantara, NU mencorong menjadi sebuah gerakan kultural yang sangat berkembang. Soliditas di kalangan NU juga sedikit banyak dipengaruhi oleh kuatnya kekerabatan internal, baik yang disebabkan oleh seperguruan dalam menimba ilmu agama (pesantren sebagai tempat belajar), sebab nasab (keturunan), dan juga silaturahim yang dijalin. Dan tentu saja ukhuwah Islamiyah dan kesatuan akidah.

Kepengurusan Nahdlatul Ulama terdiri atas: Mustasyar (berfungsi sebagai Badan Penasihat), Syuriah (berfungsi sebagai pimpinan tertinggi) dan Tanfidziyah (yang berfungsi sebagai Pelaksana Harian). Kepengurusan NU juga dilengkapi dengan berbagai lajnah, lembaga dan badan otonomi.

Dalam kehidupan politik, Nahdlatul Ulama ikut aktif semenjak zaman pergerakan kemerdekaan di masa penjajahan. Semula, Nahdlatul Ulama aktif sebagai anggota Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), kemudian Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), baik yang dibentuk di zaman Jepang maupun yang didirikan oleh seluruh organisasi Islam setelah merdeka sebagai satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia. Karena berbagai perbedaan, pada tahun 1952 Nahdlatul Ulama, menyusul PSII, menyatakan menarik diri dari keanggotaan istimewa Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik. Nahdlatul Ulama bersama dengan PSII dan Perti membentuk Liga Muslimin Indonesia sebagai wadah kerja sama partai politik dan organisasi Islam. Dalam pemilihan umum tahun 1955 Nahdlatul Ulama muncul sebagai partai politik besar ketiga. Pada masa Orde Baru Nahdlatul Ulama bersama partai politik lainnya (PSII, Parmusi. Perti) berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kemudian sejak tahun 1984 NU menyatakan diri kembali ke khittah 1926, yaitu melepaskan diri dari kegiatan politik dan menjadi organisasi sosial keagamaan.

Meski Khittah 1926 NU pada mulanya diilhami oleh suatu pemikiran bahwa keterlibatan secara langsung dalam kancah politik praktis ternyata tidak memberikan ‘keuntungan’ yang signifikan bagi kelangsungan hidup organisasi. Perjalanan NU kemudian tampak lebih didominasi oleh aktivitas politik. Inilah yang kemudian memunculkan ide untuk kembali ke khittah 1926. Bukan berarti NU harus meninggalkan dunia politik, namun netralitas politik tetap menjadi pilihan NU. Karena itu, untuk menjaga sikap netral itu, dapat dimaklumi jika PBNU melarang adanya rangkap jabatan bagi segenap pengurusnya dengan jabatan politik.

Dalam praktiknya, anggota NU masih ada yang di PPP, tak sedikit yang menyeberang ke Golkar, dan tidak dilarang juga masuk PDI. Ini terjadi dalam kurun sekitar 1984-1998. Sampai kemudian pada tahun 1999 saat gelombang reformasi menyeruak, NU bisa berkampanye untuk rumahnya sendiri’ yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Langkah ini dianggap sebagai langkah “non politik” dari “politik” NU, di mana NU tidak mengubah bentuk menjadi organisasi politik secara “langsung” (karena berarti ini mencederai khittah 1926) namun menampilkan representasi organisasinya yang memiliki kekuatan sosial cukup signifikan di Indonesia dalam jaket PKB.

Meski bukan satu-satunya partai bentukan warga NU, di masa inilah PKB meraih simpati massa—khususnya dari kalangan santri—Islam yang cukup besar, hingga mampu menduduki peringkat lima besar partai pemenang pemilu 1999.

Sebagai cucu dari pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari, sosok Abdurahman Wahid atau Gus Dur tak terlepas dari perkembangan Nahdlatul Ulama. Menjabat selama tiga periode berturut-turut dalam pucuk kepemimpinan di PBNU, pemikiran Gus Dur banyak memberikan “corak” bagi perkembangan NU berikutnya. Ia disebut-sebut sebagai seseorang yang memadukan pemikiran tradisional dan kontemporer. Greg Barton, dosen mata kuliah agama dan kajian Asia di Universitas Deakin Australia menulis dalam disertasinya yang berjudul “The Emergence of Neo Modernism”, salah satunya mengupas pemikiran beberapa tokoh Indonesia, di antaranya Gus Dur. Gus Dur adalah sosok yang penuh kontroversi dan dianggap telah memelopori bangkitnya gerakan liberalisme Islam di kalangan anak muda NU.

Gus Dur kemudian terpilih sebagai ketua Partai Kebangkitan Bangsa yang dengan demikian harus meletakkan jabatan sebagai ketua PBNU. Dalam perkembangannya, saat pemilihan presiden dilaksanakan di Senayan, pada tahun 1999 terjadi tarik-menarik. Lobi-lobi tokoh-tokoh Islam di DPR/MPR menghasilkan konsesi politik yang berujung pada pemenangan Abdurrahman Wahid sebagai orang nomor satu di republik ini. Namun, selama kepemimpinannya, pemerintah menuai badai kritik dan dipenuhi langkah-langkah yang juga penuh kontroversi. Gus Dur akhirnya lengser setelah pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR dalam Sidang Istimewa.

Besarnya organisasi Nahdatul Ulama yang oleh para penggagasnya—dengan segala kejernihannya—dimaksudkan untuk menegakkan Izzul Islam wal muslimin. Nyatanya cukup memberikan corak bagi khazanah sosial politik di Indonesia. Keberadaan organisasi Islam terbesar di negeri Indonesia ini tak pelak mengundang harapan bagi segenap kaum muslimin di Indonesia khususnya untuk memberikan kontribusi bagi kemaslahatan umat, seluas-luasnya.

Yeni Rosdianti Rasio